Jumat, 23 November 2012

Part of My Assignment #1

Ini adalah tugas pelajaran Bahasa Indonesia waktu aku kelas X :D
jadi, guruku nyuruh buat Cerpen dengan tema bebas!!
nah.. karena aku sama sekali nggak pernah membuat sebuah cerpen, jadi aku buatnya yaa seperti ini -_- ceritanya monoton banget, bro! hehe :p
Inipun berkat bantuan Teman baikku. Namanya Nia, dia orang yang menyenangkan dan pintar bagiku ^^ Kami berteman sejak SD lalu di saat SMP dan SMA kami pisah sekolah :'( meskipun begitu, kami tetep kontakan kok >_<
Aku juga sering main ke rumahnya begitu juga dengannya :)) selain itu, kami juga sering belajar bersama walau kami beda sekolah T_T 
(eh, jadi curhat -__-)

LANGSUNG AJA YAA~~ 
Kepergian Seorang Sahabat

Suara ombak dan hangatnya sinar matahari membuatku terbangun. Aku menguap dan turun dari tempat tidur. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku mengambil topi dan segera keluar kamar. Musim panas kali ini tidak semenyenangkan musim panas yang lalu.  
“Rin, sarapan dulu!” panggil ibuku sambil menenteng sarapan.
          Aku mengangguk lalu melahap sarapanku. Hari ini aku akan pergi ke rumah Anna lagi. Anna adalah teman baikku. Anna adalah orang yang manis. Dari sejak kecil kami berteman baik.
          Dulu kami sering bermain di pantai ketika liburan. Tapi semenjak 3 bulan yang lalu, kami tidak pernah lagi pergi ke pantai karena keadaan Anna yang tidak memungkinkan. Anna mengidap penyakit kanker otak.
          Saat mendengar berita itu, aku sangat terpukul. Aku menangis seharian. Tapi ayah dan ibuku membuatku tegar.
          “Anna saja tegar. Kenapa kamu tidak?” kata ibu menyadarkanku dulu.
          Saat ia divonis kanker otak, kankernya sudah mencapai stadium 4. Anna sudah tidak melakukan kemotherapi karena ia beranggapan itu tidak akan berfungsi lagi. Ia pasrah bahwa pada akhrinya ia akan pergi juga dari dunia ini. Keluarganya juga hanya bisa menunggu waktu.
          Sebelum aku pergi, ibu membungkuskan brownies hangat untuk Anna dan keluarganya. Anna sangat menyukai brownies. Dengan perasaan tidak sabar, aku mengayuh sepeda dengan kencang.
          Sesampainya di rumah Anna, aku menyapa ayahnya lalu naik ke kamarnya. Saat itu, ibunya sedang menyuapinya sarapan. Kulihat Anna semakin hari semakin pucat dan kurus.  Kadang-kadang ia mengerang kesakitan karena penyakitnya. Ia menoleh dan tersenyum melihatku.
          “Pagi, Tante. Aku bawa brownies loh!” lalu aku duduk di samping Anna.
          “Pagi, Rin! Wah, terima kasih. Nah! Anna, ibu turun ya.” kata ibu Anna dan mengecup kening anak semata wayangnya itu, lalu turun.
          “Bagaimana kabarmu, An?” tanyaku sambil membantunya duduk di kasur.
          “Makin buruk.” katanya tersenyum sedih. Ingin rasanya aku menangis. Tapi aku menahannya. Kau sangat tegar, An! Aku salut padamu.
          “Kamu harus berusaha!” kataku menyodorkan brownies padanya.
          “Aku sedang berusaha.” jawabnya mengambil browniesku. Kami mengobrol menghabiskan waktu. Tiba-tiba brownies Anna terjatuh dan ia mengerang kesakitan. Hidungnya mengeluarkan darah. Aku mengambil tissue dan langsung mengelap darahnya, lalu mengambil obat yang berada di samping tempat tidurnya. Setelah meneguk obatnya, ia bersandar kembali. Kelihatannya sakitnya sudah hilang.
          “Rin, aku lelah seperti ini.” katanya sambil menitikkan air mata untuk pertama kali sejak ia divonis kanker.
          Aku memeluknya. Aku tidak ingin dia pergi. Ingin sekali rasanya mengulang waktu di mana kami bisa bermain bersama dengan riang tanpa memikirkan penyakit atau sesuatu yang mengancam kematian.  
          “Kau pasti bisa!” kataku membesarkan hatinya. Ia mengangguk lemah lalu kami kembali mengobrol. Aku harap ia bisa menghadapi cobaan ini.
          Esoknya, Anna tidak sadarkan diri. Ayah dan ibunya menemaninya setiap saat. Aku juga menjenguknya setiap hari. Aku selalu menangis di kamar. Selalu terpikir di benakku mengapa orang yang baik dan lugu seperti Anna mendapat cobaan seperti itu?
          Lalu ibu masuk ke kamarku dan menenangkanku.
          “Rin, Anna tak akan lama lagi disini. Kamu harus siap melepaskan ia pergi. Ia lebih baik pergi daripada tersiksa di dunia ini,” kata ibu membuat tangisku bertambah keras.
          “Aku akan sendiri, Bu. Ia temanku!” sahutku.
          “Ibu tau, tapi apa kamu tega melihatnya kesakitan tiap hari? Anna akan lega jika kamu merelakan dia pergi. Ia pasti lebih bahagia di atas.” kata ibu panjang lebar membuatku tersadar. Ini memang menyakitkan, tapi jika Anna ingin pergi, aku akan merelakannya. Aku tidak tega melihatnya kesakitan tiap hari.
          Kuhapus air mataku lalu bergegas menuju rumahnya. Ayah dan ibunya masih di sampingnya. Anna ternyata sudah sadar. Ia tersenyum menatapku.
          “Anna..” kataku serak. Aku tidak tau harus memulai dari mana.
          “Aku lelah, Rin. Ayah dan ibuku sudah menyuruhku untuk istirahat. Tapi aku belum minta ijin darimu,” katanya membuat ayah dan ibunya menitikkan air mata. Aku mengangguk sambil menitikkan air mata.
          “Kamu lelah, An?” tanyaku sambil menggenggam tangannya.
          Ia hanya mengangguk dan air mata pun mengalir di pipinya.
          “Baiklah, kau boleh istirahat.” kataku terbata-bata. Ia akan segera pergi.
          “Rin, terima kasih ya! Selama ini kamu selalu meramaikan hari-hariku. Setelah aku tiada nanti aku harap kamu masih tetap menjadi Rin, sahabatku yang selalu ceria. Aku sayang padamu Rin.” katanya dengan napas yang tersendat-sendat.
Ayah, Ibu, Rin.. Tetaplah menjadi orang-orang yang paling aku banggakan!” katanya lalu matanya mulai mengecil.
          “Istirahat yang tenang, Anna. Ayah dan Ibu ikhlas,” kata ayahnya sambil mengelus rambut Anna.
          “Istirahatlah, An. Maaf kalau selama ini aku selalu membuatmu tidak bisa istirahat,” kataku sambil tersenyum dan mengelus pipinya.
          Anna menggeleng. Ia sempat membisikan kata terima kasih padaku. Sekejap matanya sudah terpejam. Ia pergi dengan senyuman di wajahnya. Aku menangis sekeras-kerasnya. Aku kehilangan Anna. Tapi aku tahu ia akan lebih bahagia jika ia pergi. Pergi ke tempat yang lebih baik.
Hari demi hari telah berlalu. Aku bangun dari tidurku. Sebelum aku hendak ke kamar mandi, aku melihat fotoku dan Anna saat kami bermain di pantai dengan riang. Waktu itu kami berumur 10 tahun. Di sana aku melihat senyumnya sangat bahagia. Tidak pernah terpikir kalau aku dan Anna akan berpisah dengan kejadian seperti ini. Aku tersenyum dan air mataku mulai keluar. Aku langsung menghapus air mataku. Anna sudah tenang disana. Yang dia butuhkan adalah doa, bukan tangisan. Lalu aku bergegas untuk berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah nanti, aku akan berziarah ke makam Anna.
Aku senang karena pernah mengenalmu, An. Selamat jalan dan terima kasih untuk semuanya. Hari-hari bersamamu akan selalu aku kenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar